Culture/ Climate/ Control,
melakukan pembudayaan K3 di lingkungan kerja, kemudian dilakukan kontrol,
monitoring dan evaluasi secara berkala. Berawal
dari laporan International Atomic Energy Authority (IAEA) pada tahun 1991
tentang kecelakaan yang terjadi di Chernobyl yang memperkenalkan budaya
keselamatan, perhatian akan budaya keselamatan pada suatu organisasi mulai
dilirik sebagai salah satu penyebab terjadinya major accident. Usaha untuk
menurunkan tingkat kecelakaan dimulai dari usaha untuk memperbaiki dan
meningkatkan teknologi (engineering, equipment, safety, compliance) dan sistem
(integrating HSE, certification, competence, risk assessment), tetapi teknologi
dan sistem ini tidak dapat menurunkan tingkat kecelakaan sampai pada tingkat
yang diinginkan. Kemudian pada akhir tahun 1990 dilakukan pendekatan budaya
(behavior, leadership, accountability, attitudes, HSE as profit center), ternyata
pendekatan ini dapat menurunkan tingkat kecelakaan ke level yang lebih rendah.
Tingkatan paling bawah dari budaya
keselamatan adalah pathological, dimana pada kondisi ini setiap orang yang ada
dalam organisasi tidak ada yang peduli satu sama lain karena mengganggap hal
tersebut adalah tanggung jawab dan risiko masing-masing. Tingkatan kedua
sedikit lebih baik daripada tingkatan pertama yaitu reaktif, dimana sudah
terbentuk budaya bertindak setelah terjadi kecelakaan atau kegagalan. Tingkatan
ketiga adalah calculative dimana pada tingkatan ini sudah terdapat sistem
pengendalian bahaya dan risiko di tempat kerja. Tingkatan keempat adalah
proaktif dimana safety leadership dan values sudah diterapkan, dan perbaikan
secara terus menerus sudah dilakukan dengan melibatkan pekerja untuk bersifat
proaktif dalam mengidentifikasi potensi bahaya dan risiko.
Tingkatan paling tinggi adalah generatif,
pada tingkatan ini Keselamatan dan Kesehatan Kerja sudah merupakan bagian dari
setiap proses dan kegiatan bisnis pada perusahaan tersebut dalam segala
tingkatan. Edgar Schein, ahli psikologi organisasi, mengembangkan model tentang
budaya organisasi yang dikelompokkan pada tiga tingkatan yaitu sesuatu yang
dapat langsung teramati yang disebut artifak dan perilaku, sedangkan yang tidak
teramati tapi bisa diketahui dan dijabarkan adalah tata nilai, dan yang
terakhir adalah asumsi dasar. Menurut model ini setiap budaya keselamatan pada
hakekatnya mempunyai karakteristik tertentu. Karakteristik tersebut akan tampak
pada tiap tingkatan baik pada tingkat artifak dan perilaku, tingkat tata nilai
maupun pada tingkat asumsi dasar. Budaya keselamatan dapat ditinjau dari kaca
mata ketidakpastian manajemen organisasi. Ada dua pendekatan terhadap
ketidakpastian organisasi, yaitu:
a) Meminimalkan
ketidakpastian (minimizing uncertainties-MU)
b) Mengatasi
ketidakpastian (Coping with uncertainties-CU)
Terdapat kekurangan dan kelebihan
masing-masing dari kedua metode pendekatan diatas. Sistem budaya keselamatan
diusulkan untuk mengkoordinasikan dan mengintegrasikan kedua metode tersebut.
Berdasarkan konsep socio-technical model dari budaya keselamatan dikembangkan
angket pertanyaan yang dapat digunakan untuk audit manajemen dan budaya
keselamatan. Ada 3 pendekatan konsep socio-technical model yaitu Proactive,
Socio-technical integration dan Values consciousness. Mengaitkan sistem
manajemen, budaya keselamatan dan socio technical model dapat mengurangi
kelemahan budaya keselamatan, karena:
1) Budaya
keselamatan akan lebih terpancang dan mengakar pada keseluruhan organisasi.
2) Desain
organisasi akan terhubung dengan prinsip keselamatan baik dari sisi material
dan immaterial (moral).
Peran budaya keselamatan dalam pendekatan CU
adalah soft coordination sementara pendekatan MU adalah hard coordination.
Pendekatan CU dengan soft coordination lebih sesuai dilakukan untuk peningkatan
partisipasi, keterlibatan, perilaku, tanggungjawab, kepemimpinan dan interaksi
team. Sementara pendekatan MU dengan hard coordination lebih menekankan pada
perintah dan kontrol sehingga lebih sesuai untuk pekerjaan rutin. Untuk
mengembangkan budaya keselamatan yang positif ada beberapa point yang harus
dilakukan yaitu: merubah sikap dan perilaku, komitmen manajemen, keterlibatan
karyawan, strategi promosi, training dan seminar, dan spesial program. Budaya
keselamatan yang positif memiliki lima komponen:
a) Komitmen
manajemen terhadap keselamatan
b) Perhatian
manajemen terhadap pekerja
c) Kepercayaan
antara manajemen dan pekerja
d) Pemberdayaan
pekerja
e) Pengawasan,
tindakan perbaikan, meninjau ulang sistem dan perbaikan secara terus menerus.
Ada
dua pendekatan untuk mengukur kinerja sistem keselamatan:
a) Reactive,
downstream or lagging indicators
b) Proactive,
upstream or leading indicators.
Berdasarkan hasil kajian berbagai literatur
tentang budaya keselamatan yang dilakukan oleh Choudhry R.M., et al. maka dapat
disimpulkan bahwa:
a) Ditemukan
banyak organisasi termasuk bidang konstruksi yang sangat tertarik dengan konsep
budaya keselamatan sebagai media untuk mengurangi kecelakaan kerja.
b) Dari
sisi definisi dapat ditegaskan bahwa budaya keselamatan tidak sama dengan iklim
keselamatan. Iklim keselamatan merupakan produk dari budaya keselamatan.
c) Budaya
keselamatan yang positif akan menghasilkan sistem manajemen keselamatan yang
efektif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar